Powered By Blogger

Selasa, 26 Maret 2013

Tips memilih tema marching band

Setelah rasa capek yang berlebihan, senang, sedih, haru dan bangga atas anak didiknya yang telah berlaga di sebuah pertandingan maupun penampilan marching band, kini giliran pelatih, pengurus dan pemberi materi yang mulai pusing memikirkan langkah apa yang akan dilakukan tahun depan. Dan setelah melihat banyak band yang bertanding saat itu, maka bertambah pusinglah pelatih, “Paket itu sudah dimainkan band lain, paket yang saya pikir jauh-jauh hari, sudah dimainkan juga, mau mainkan apa lagi yah?” Lalu bagaimana membuat dan menyiasati sebuah bentuk paket penampilan yang efektif namun menarik? Biasanya hal ini merupakan ‘dapur’ masing-masing pelatih kepada bandnya, karena terkadang rahasia kesuksesan suatu band bergantung pada ‘ide dan kreatifitas’-an pemberi materi ini, termasuk saya. Namun apalah gunanya menyembunyikan sebuah ilmu, yang kelak akan ditinggal mati oleh orangnya. Alangkah baiknya menyebarkan ilmu sebanyak-banyaknya kepada khalayak ramai yang berguna untuk memajukan per-marching band-an. Bethul tidhak? (dengan gaya aa’ Gym…) Di Amerika, ilmu menciptakan suatu pagelaran marching band sudah dibukukan dalam berbagai buku pendidikan musik dan marching band. Ada banyak cara dan pedoman dalam merangkai suatu tema pagelaran marching band. Salah buku favorit saya karya Wayne Bailey berjudul “The Complete Marching Band Resource Manual”, dijelaskan banyak mengenai persiapan sebuah marching band menghadapi sebuah penampilan dan pertandingan. Salah satu faktor terpenting adalah menyeleksi musik yang akan dimainkan. Tidak semua musik dapat cocok dimainkan oleh marching band. Sebaiknya ambil lagu yang mempunyai form ABA atau AB. Biasanya dalam puisi atau sajak, banyak memakai istilah ini, sama juga dengan sebuah lagu, dimana A dapat diartikan Verse 1, B diartikan Reffrain (Reff). Apabila lagu tersebut mengikuti standar format ini, maka dengan mudah dapat direproduksi ke lagu marching band. Format AB dapat dengan mudah ditranskripkan ke marching band, dimana polanya dapat berubah menjadi format klimaks di aransemen marching band. Format tersebut bisa berbeda dengan lagu aslinya, sepanjang benang merah lagu tersebut masih ada. Faktor lain dalam memilih lagu adalah, cari di melodi lagu tersebut yang kira-kira dapat menjadi sebuah frase yang klimaks, baik bernuansa kuat dan keras, atau bahkan lembut sekali. Sehingga penggubah lagu dengan mudah mentranformasikan lagu tersebut ke dalam bentuk aransemen marching band. Sang pembuat display pun akan begitu mudah memvisualisasikan gerakan dan konfigurasi display sesuai dengan lagu tersebut. Semua melodi lagu harus mempunyai efek dan emosi secara klimaks (Bailey, 1994). Namun, kebanyakan di lagu-lagu pop sekarang ini, jarang sekali dijumpai melodi yang demikian, sehingga menuntut sang arranger untuk berpikir lebih keras lagi bagaimana mengangkat lagu itu. Setelah mendapatkan gambaran tentang lagu-lagu yang akan dimainkan, tugas arranger selanjutnya adalah bagaimana merangkai semua lagu tersebut ke sebuah tema penampilan. Menurut saya, disinilah letak kreatifitas dan keahlian seorang arranger. Apakah semua lagu tersebut mempunyai benang merah yang sama, sehingga dapat dihubungkan satu sama lain? Apakah lagu-lagu tersebut berkonotasi keras semua, atau lembut semua? Dan apakah melodi-melodi dalam lagu tersebut dapat ditukar-tukar ke setiap lagu, atau dijadikan sebuah Introduction dan Ending sebuah pagelaran? Semua ini membutuhkan pemikiran serius. Sebuah pengalaman menarik, saat saya membuat tema MBUI tahun 2002 mengikuti GPMB, satu hal yang menjadi trigger saya saat itu, adalah bahwa banyak sekali band-band saat itu yang memainkan lagu-lagu DCI dengan transkripsi. Itupun terkadang meniru habis sampai ke display dan pakaiannya. Hal ini membuat saya berpikir untuk ‘mengalihkan’ perhatian ‘DCI-maniac’ kembali menjadi ‘Indonesian-maniac’. Ketertarikan ini ditambah lagi dengan keikutsertaan saya dalam Daya Big Band, pimpinan Prof. Deviana Daudsjah, yang hampir semua repertoire-nya bernuansa lagu daerah. Nah, disini tantangannya. Disaat semua orang mendapat ide dan meniru DCI, tanpa memikirkan benang merah tema, saya harus menyusun lagu-lagu daerah, yang konon susah untuk di gabungkan dalam sebuah pagelaran marching band yang dinamis. Namun tekad saya bulat untuk mengubah animo masyarakat marching band di Indonesia. Mengikuti acuan Wayne Bailey, sayapun membuat suatu grafik pagelaran, berisi garis linear pembentuk karakter dan emosi lagu untuk satu paket. Dari keempat lagu yang akan dimainkan, semuanya harus mempunyai karakter dan emosi yang kontras satu sama lain, agar grafiknya tidak lurus horisontal. Saat itu, saya mulai dengan lagu “Sing-sing So ala bolero” yang bernuansa hening dan pelan, hanya suara snare drum. Berpedoman pada benang merah bolero yang berangsur-angsur keras sampai klimaks dan megah, maka lagu daerah batak ini saya buat sama. Maka jadilah sebuah lagu daerah yang khas namun menggugah. Dr. Steven Grimo menjelaskan, bahwa lagu pertama sebuah pertunjukan harus mendapat kesan “Welcome to our performance!” (Whaley, 2005). Berkesan dan berciri khas merupakan pesan yang harus disampaikan di lagu pertama. Tantangan berikutnya adalah bagaimana dengan lagu selanjutnya? Mau saya apakan benang merahnya? Mudah saja, setelah lagu satu diakhiri dengan klimaks yang keras, maka lagu 2 dapat kita santaikan lagi, mengingat tenaga para pemain sudah terpakai habis saat ending lagu satu, maka kita sebagai arranger, ‘menyiapkan’ lagi tenaga mereka di lagu selanjutnya dengan memulainya dengan antiklimaks. Lagu Gundul-gundul pacul dipilih, bernuansa jazz swing yang ringan, namun terasa enak di telinga. Penonton pun dibuat menikmati lagu ini agar dapat mengikuti tema yang kita buat, ditambah percussion feature penambah greget lagu gundul-gundul pacul. Sedikit ‘bandel’ dengan keadaan, saya masukkan interlude ilir-ilir, dimana hanya pit percussion yang bermain, sembari pemain brass dan battery beristirahat dan menyiapkan tenaga untuk menghentak di lagu ke 4. Puas dengan irama yang tenang, mari kita pacu lagi dengan penampilan yang lebih kencang, keras, dan dinamis. Kompilasi lagu jawa barat dipilih antara lain ‘es lilin dan pileuleuyan’. Nada-nada berkonotasi minor membuat saya berani menggabungkan dengan lagu klasik, agar lebih tegas dan kaku. Lagu pileuleuyan melanjutkan irama lagu ini dengan ‘menabrak’ tempo cepat 150 dengan irama syahdu dengan tempo 85 (ide saya ambil dari lagu 3 Blue Devils tahun 98). Lagu kelima, sebagai lagu pamungkas harus dibuat berbeda dan merupakan kompilasi dan klimaks dari pertunjukan ini. Namun disaat melihat lagu 4 dengan penuh irama keras dan menghentak, sudah waktunya untuk membawa tema ini ke nuansa antiklimaks. Dengan ‘berkedok’ lagu yamko rambe yamko dan cuplikan dari berbagai lagu sebelumnya, dan diikuti dengan sepenggal sing-sing so ala bolero, berangsur-angsur pelan dan lembut dan diakhiri dengan seorang pemain snare drum ditengah lapangan, tanda pagelaran telah usai. Kalau dilihat dari grafik tema, akan terlihat seperti ini: Ilustrasi grafik tema dengan skala bebas. Masih banyak lagi kreatifitas yang bisa diambil dari grafik ini, lagu-lagu yang dipilih sesuai dengan ‘hati nurani’ pelatih, benang merah antar lagu, dan emosi yang diharapkan timbul dari penonton yang mendengarkan. Terus terang, paket ini merupakan salah satu paket yang terpuas yang pernah saya buat dengan MBUI. Jadi, apakah sudah ada tema untuk pertandingan tahun ini? Kita lihat saja nanti… Marbo *Staff pengajar Binus Business School, Jupiter Indonesia Endorser. Referensi: Bailey, Wayne, The Complete Marching Band Resource Manual, University of Pennsylvania Press, 1994 Whaley, Garwood., The Music Director’s Cookbook: Creative Recipes for a Successful Program, Meredith Music Publication, 1st ed, USA, 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar